MENGENAL SELF HARM DI KALANGAN REMAJA

MENGENAL SELF HARM DI KALANGAN REMAJA

(Penulis: Dyah Pradnya Paramita, SST., M.Kes, Dosen Prodi D3 Kebidanan, Universitas Alma Ata )

 

Program Studi DIII Kebidanan Alma Ata – Belakangan ini, masyarakat dikagetkan dengan berita tentang 40 orang siswi SMP melukai dirinya sendiri dengan benda-benda tajam. Ternyata fenomena tersebut juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia bahkan di dunia. Fenomena menyakiti diri sendiri dikenal dengan istilah “self harm”. Self harm didefinisikan sebagai kegiatan menyakiti diri sendiri untuk menghilangkan rasa frustasi, stres, dan berbagai macam emosi. Setiap orang memiliki cara self harm yang berbeda-beda, seperti menarik rambut, mencubit, menggigit, menggaruk, memukul, menelan zat berbahaya, dan menyayat anggota tubuh (cutting). Sebetulnya tujuan awal seseorang melakukan self harm bukanlah untuk mengakhiri hidup, akan tetapi apabila hal ini menjadi kebiasaan maka tentu saja sangat berbahaya bagi kesehatan fisik dan jiwa seseorang. Menurut Healthline, 80% orang melakukan cutting sebagai bentuk tindakan self harm.

Dalam sejumlah kasus, self harm banyak dilakukan oleh remaja. Berdasarkan hasil studi di tahun 2021, usia remaja (12-19 tahun) adalah kelompok yang paling banyak melakukan self harm. Faktor yang melatarbelakangi mereka melakukan self harm adalah sulit mengekspresikan emosi dan perasaan, tidak tahu ingin meluapkan rasa trauma, sakit, dan tekanan secara psikologis serta tidak memiliki solusi terhadap rasa kesepian, diabaikan, dan kebingungan yang mereka miliki.

Self harm dapat membuat para pelakunya kecanduan. Mereka beranggapan jika tindakan menyakiti diri sendiri sebagai cara untuk meredakan perasaan negatif, serta menikmati rasa sakit seperti yang sedang mereka alami. Menurut WHO, seseorang yang sering menyakiti diri sendiri memiliki tanda-tanda yang bisa dilihat, baik dari fisik maupun psikologis seperti adanya luka sayatan di anggota tubuh tertentu seperti lengan, menutup diri dari lingkungan sosialnya serta kehilangan motivasi dan percaya diri. Oleh karena itu, kesejahteraan mental seseorang yang melakukan self harm tentunya sedang tidak dalam kondisi yang baik. Pelaku self harm harus segera mendapatkan penanganan yang tepat, seperti terapi obat dari dokter dan konseling dengan psikolog. Selain itu olahraga dan terapi squeeze ball juga merupakan tindakan yang direkomendasikan untuk menstabilkan emosi pelaku self harm. Olahraga push up, sit up, dan bela diri dapat mengembalikan energi dan meningkatkan kadar hormon yang membuat diri seseorang menjadi merasa senang dan bahagia. Sehingga seseorang dapat mengelola emosi dan stres dengan baik dan terhindar dari perilaku self harm.

Referensi:

  1. Yubastian, G. A., & Ariana, A. D. (2023). Digital Self-harm pada Remaja: Tinjauan Naratif. PROCEEDING SERIES OF PSYCHOLOGY, 1(2), 20-26.
  2. World Health Organization. 2019. Suicide and self-harm. [daring]. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/333478/WHOEMMNH224E-eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y
  3. F Hidayati. 2021. Prevalensi dan Fungsi Melukai Diri Sendiri pada Mahasiswa. [daring]. http://conference.um.ac.id/index.php/psi/article/view/1933/1884
  4. 2018. What You Should Know About Cutting. [daring]. https://www.healthline.com/health/cutting#coping-and-support
Open chat