Sehat sering kali dipersepsikan dari segi fisik saja. Padahal sehat juga berarti tentang kesehatan jiwa. Sayangnya, persoalan kesehatan jiwa masih dianggap kalah penting dibandingkan kesehatan fisik. Padahal saat ini sudah ada asuransi kesehatan yang menawarkan perlindungan terkait kesehatan mental.
WHO menyebutkan, anak muda alias generasi milenial saat ini lebih rentan terkena gangguan mental. Terlebih masa muda merupakan waktu di mana banyak perubahan dan penyesuaian terjadi baik secara psikologis, emosional, maupun finansial. Misalnya upaya untuk lulus kuliah, mencari pekerjaan, atau mulai menyicil rumah.
Selain perubahan hidup, teknologi juga turut berkontribusi terhadap kesehatan mental generasi muda. Salah satunya adalah penggunaan media sosial. Media sosial seakan menciptakan gaya hidup ideal yang sebenarnya tidak seindah kenyataan. Hal inilah yang menciptakan tekanan dan beban pikiran pada generasi muda.
Gangguan mental, karena gejalanya tidak seperti penyakit fisik, acapkali terlambat disadari. Padahal di Indonesia, jumlah penderitanya terbilang tidak sedikit.
- Setengah dari penyakit mental bermula sejak remaja, yakni di usia 14 tahun. Menurut WHO, banyak kasus yang tidak tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi menjadi penyebab kematian tertinggi pada anak muda usia 15-29 tahun.
- Merujuk data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi penderita skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%.
- Masih berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia, masyarakat perkotaan lebih rentan terkena depresi, alkoholisme, gangguan bipolar, skizofrenia, dan obsesif kompulsif. Meningkatnya jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia dan di seluruh dunia disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan hidup manusia, serta meningkatnya beban hidup, terutama yang dialami oleh masyarakat urban.
Namun jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia patut berbangga. Pasalnya tingkat stres masyarakat Indonesia ternyata tidak setinggi negara lain. Fakta ini berdasarkan Survei Skor Kesejahteraan 360° tahun 2018 yang diselenggarakan Cigna.
Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 86% responden dari seluruh negara yang turut berpartisipasi mengatakan bahwa mereka merasa stres. Namun di Indonesia, responden yang mengatakan bahwa mereka merasa stres ‘hanya’ sebesar 75%.
Jika dibuat perbandingan, ada 3 dari 4 responden yang merasa stres. Meski persentase tersebut terkesan tinggi, tingkat stres ini merupakan tingkat stres terendah dari seluruh negara yang disurvei. Persoalan keuangan dan pekerjaan merupakan penyebab stres yang utama.
Sedangkan 25% sisanya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak merasa stres. Persentase ini merupakan yang terendah dibandingkan 22 negara lainnya. Di negara tetangga seperti Singapura dan Thailand, tingkat stres masyarakatnya bahkan berada di atas rata-rata, yaitu sebesar 91%.