Isu di level nasional yang berkontribusi pada tidak tercapainya sejumlah target JKN. Isu pertama terkait dengan pendekatan sentralistik BPJS Kesehatan yang merupakan efek dari fragmentasi UU SJSN dan UU BPJS dengan berbagai UU yang mengatur sektor kesehatan (UU Kesehatan, UU RS, UU Wabah dll) serta regulasi yang mengatur tata pemerintahan. Ada dua bagian besar yaitu sistem pembiayaan kesehatan yang diatur dengan UU SJSN dan UU BPJS yang cenderung sentralistik sehingga terpisah dari bagian sistem kesehatan nasional dan daerah yang desentralistik.
Fragmentasi ini menghambat pencapaian target di seluruh provinsi, terutama ketertutupan data ditemukan sebagai konteks penting terhambatnya pemanfaatan data oleh pemerintah daerah. Sebagai catatan menarik, Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Kesehatan) juga kesulitan mendapatkan data dari BPJS Kesehatan. Hal serupa pun dialami oleh DJSN yang harus menggunakan MoU untuk mendapatkan data tersebut.
Sifat sentralistik dari BPJS Kesehatan menjadi konteks yang penting karena berimplikasi lebih lanjut terhadap rendahnya kepercayaan publik terhadap pengambilan keputusan, informasi kebijakan, dan dampak dari program ataupun kebijakan (Grimmelikhuijsen et al. 2013), termasuk JKN.
Hal demikian juga bertentangan dengan prinsip bahwa sebuah tatanan yang mengatur secara ekplisit tentang mekanisme sharing data dan tranparansi data sangat diperlukan (Dawes 2010) dan pemberian ruang dan informasi yang transparan kepada publik (Siddiqi et al. 2009). Isu kedua adalah sistem single-pool yang digunakan dalam JKN. Penarapan konsep single- pool terjadi di Korea Selatan dan Taiwan serta negara-negara di Eropa. Permasalahan yang kemudian timbul adalah sistem ini diadopsi Indonesia tanpa kesiapan dan perencanaan yang matang, sehingga berkontribusi terhadap meledaknya biaya kesehatan dan defisit pendanaan BPJS Kesehatan yang telah terjadi sejak tahun pertama implementasi JKN.
Berdasarkan penelitian Lu dan Hsiao (2003) tentang sistem asuransi Taiwan, sistem single-pool memang berhasil meningkatkan efisiensi dengan menekan biaya pelayanan kesehatan, namun penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa sistem ini hanya bisa diimplementasikan di negara-negara dengan ekonomi yang kuat dan bukan di negara-negara berkembang (Lu and Hsiao 2003), termasuk Indonesia. Selain kekuatan ekonomi yang berbeda dengan Indonesia, mayoritas tenaga kerja di Korea Selatan dan Taiwan adalah sektor formal. Hal ini mempermudah pengumpulan premi asuransi dan sistem perpajakan yang jauh lebih efektif dan berdampak pada kemampuan negara untuk mensubsidi sektor informal, pensiunan, dan rakyat miskin yang merupakan proporsi relatif kecil dibanding sektor formal.
Sistem single-pool perlu ditinjau ulang dengan menelaah kondisi antar daerah yang dimiliki Indonesia. Salah satu studi dari Taiwan sendiri, yang meskipun saat ini menerapkan sistem single-pool, menyarankan adanya segmentasi NHI Taiwan berdasarkan daerah pedesaan dan perkotaan (Lee et al. 2018) yang diangkat berdasarkan sistem multiple-pool seperti di Cina, Singapura, dan Kolombia (Lim 2015, Low 2004, Montenegro Torres and Bernal Acevedo 2013, Yip et al. 2012).
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih sensitif terhadap pemerataan distribusi sumber daya kesehatan, kualitas pelayanan berdasarkan geografis, alokasi pembiayaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah, serta untuk mencapai populasi yang paling rentan. Penelitian lain tentang Taiwan dan sistem single-pool oleh Hsiao, Cheng, dan Yip (Hsiao et al. 2016) tidak memaksakan pemecahan atau segmentasi single-pool ini, karena Taiwan dinilai cukup berhasil mencapai UHC. Namun, penelitian tersebut juga menekankan bahwa keberhasilan Taiwan didukung oleh kondisi dimana supply-side Taiwan telah relatif mencukupi dan cukup merata.
Oleh: Sumarni, SKM., MARS
arniandigali@uaa.ac.id