QURANIC PARENTING

QURANIC PARENTING

MENELADANI METODE MENDIDIK ANAK ALA NABI IBRAHIM

 

At-thariqah ahammu minal maddah (metode lebih penting dari materi)

Universitas Alma Ata – Kalimat diatas adalah sebuah maqolah yang pertama kali saya dengar dari Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, M.A, salah satu guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam sebuah perkuliahan yang diampu oleh beliau. Membicarakan metode, tentunya adalah hal yang penting, kususnya dalam sebuah pendidikan. Metode menempati posisi sentral dalam mencapai tujuan pendidikan, sebab metode menjadi jembatan dalam mendeskripsikan makna materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan, yang karenanya dapat dimengerti dan diserap oleh peserta didik. 

Maqolah diatas menunjukkan bahwa metode adalah sebuah keharusan yang bagi pendidik dalam menyampaikan materi. Ada banyak metode pendidikan yang dijabarkan secara rinci di berbagai literatur-literatur, misalnya metode keteladanan, pemberian nasehat, reward and punisment, dan semacamnya. Islam sebagai agama yang mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu, juga banyak menjelaskan terkait metode pendidikan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam Al-Qur’an, misalnya metode nasehat dalam kisah Lukman dengan anaknya, juga metode demokratis dalam kisah Nabi Ibrahim dengan anaknya (Nabi Ismail kecil). 

Nabi Ibrahim adalah salah satu Nabi yang dalam mendidik anak bisa dicontoh oleh pendidik di era sekarang ini, baik itu orang tua maupun guru di sekolah. Allah berfirman dalam Q.S Al-Shaffat: 102-107, yang artinya:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata “wahai putraku (Ya Bunayya), sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; isnya Allah kamu akan mendapatiku sebagi orang yang sabar.” Tatkala keduanya berserah diri (Ibrahim dan Ismail) berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya (Ismail) atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan kami panggil dia “Hai Ibrahim! Kau telah membenarkan mimpimu. Sesungguhnya kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata. Dan, kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Matan ayat tersebut menunjukkan bahwa ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anaknya, ia memanggil Ismail dengan panggilan yang lembut, penuh kasih sayang, “duhai anakku (ya bunayya). Lalu nabi Ibrahim, meminta pendapat kepada Ismail dengan mengatakan “bagaimana pendapatmu?” Pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim memiliki sikap demokratis, walaupun posisinya sebagai seorang ayah. 

Mengenai ayat diatas, Prof. Dr. Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa demokratisnya Nabi Ibrahim bertujuan untuk menunjukkan kepada Ismail bahwa ia tidak semena-mena terhadap anaknya. Walaupun Nabi Ibrahim adalah seorang ayah, tetapi hak bersuara atau berpendapat anaknya tetap ia hargai. Begitulah Nabi Ibrahim memperlakukan anaknya. 

Di ayat lain juga menunjukkan, bahwa Nabi Ibrahim dalam mendidik anak, juga menggunakan metode berdoa (meminta). Hal tersebut bisa dilihat dalam Q.S Ibrahim: 35.

“Ya tuhanku, jadikanlah negeri ini (makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala”

Di ayat selanjutnya, Q.S Ibrahim: 50, Nabi Ibrahim juga berdoa.

“Ya tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya tuhan kami, perkenankanlah doaku”

Disamping berikhtiar, Nabi Ibrahim juga secara continue berdoa kepada Allah agar kualitas keimanan dan ketakwaannya, anaknya, dan juga cucu-cucunya dijaga oleh Allah SWT.

Metode Nabi Ibrahim diatas, yaitu mendidik dengan lemah lembut, demokatis, dan berdoa bisa menjadi teladan bagi para pendidik di era sekarang ini. Bersikap lemah lembut sangat cocok untuk di terapkan di era sekarang ini dalam mendidik anak, baik itu orang tua maupun guru di lembaga pendidikan. Menggunakan kekerasan hanyalah akan membuat anak kaku dalam bertindak, anak tidak percaya diri, dan tercipta jarak antara pendidik dan peserta didik. Sikap lemah lembut, sebagaimana Nabi Ibrahim, haruslah dimiliki seorang pendidik, sebab sikap tersebut akan menimbulkan ikatan emosional antara peserta didik dan pendidik. Ikatan emosional yang baik akan memudahkan pendidik dalam mencapai tujuan pendidikan.

Metode demokratis Nabi Ibrahim, metode ini bisa menjadi standar evaluasi dalam mendidik anak. Sebab tidak sedikit guru dalam mengajar hanya menggunakan metode ceramah (satu arah), walaupun materi tersebut menghendaki komunikasi dua arah, antara siswa dan murid. Disamping itu, orang tua dalam mendidik anak terkadang secara otoriter, harus begini dan harus begitu, tanpa mengobrol dengan anak terlebih dahulu, akhirnya orang tua tidak mengetahui dan mengenal apa potensi dan passhion anak tersebut. 

Selain itu, tidak sedikit seorang anak yang masuk ke dunia pendidikan hanya berdasarkan sikap otoriter atau kemauan orang tua. Dampaknya, si anak hanya merasa terkekang dan tentunya kurang nyaman dalam menjalani dunia pendidikan. Padahal kelak yang akan menikmati buah dari perjalanan intelektual sang anak ialah anak itu sendiri, maka dari itu penting metode demokratis atau komunikasi dua arah antara pendidik dan peserta didik.

Disamping berikhtiar, seorang pendidik juga seharusnya melibatkan tuhan (Allah), sebab sesuatu sangat mudah terwujud ditangan tuhan. Artinya berdoa, meminta kepadaNYA agar sang anak dipermudah oleh Allah dalam memahami materi pelajaran, pendidik diberikan kesabaran dalam mendidik, dan hal positif lainnya yang mempermudah terwujudnya tujuan pendidikan.

Open chat